Pulang
kampung setelah lima tahun di rantau menuntut ilmu, memberi warna
tersendiri dalam hati. Dengan mengantongi ijazah sarjana,
Khairul
Huda, Pulang kampung setelah lima tahun di rantau menuntut ilmu,
memberi warna tersendiri dalam hati. Dengan mengantongi ijazah sarjana,
aku melangkah tegap menuju bus yang akan membawaku ke Doro, sebuah kota
kecamatan kecil 20 km di sebelah selatan Pekalongan.
Bus Binatur yang dia tumpangi
berjalan lambat keluar terminal. Tidak hanya sekali dua bus berhenti
untuk menaik-turunkan penumpang. Bahkan beberapa kali bus malah berjalan
mundur, masuk ke jalan desa, menjemput penumpang yang hampir terlewat.
Sampai di perempatan Karangdadap langit gelap. Sesaat kemudian turun hujan. Dia edarkan pandang ke luar jendela. Lewat kaca bus yang buram, dia lihat
butiran mutiara itu berlomba turun menjejak ke bumi. Banyak rumah baru
berdiri di sepanjang pundak jalan yang tidak seberapa luas.
Sejam
kemudian, tepat pukul 12.00 siang, bus sampai di depan Pasar Doro. Di
kota kecil ini tak ada terminal bus, yang ada hanyalah terminal colt
angkutan pedesaan. Itu pun tak seluruh colt masuk ke terminal. Banyak di
antaranya yang nge-tem di depan pasar sebelah barat, berbaur jadi satu
dengan bus yang akan datang.
"Masih seperti dulu," gumamnya
membatin, ketika melihat sebuah colt jurusan Karanganyar berangkat. Ya,
masih seperti dulu. Colt berangkat dengan penumpang yang berjejal
sesak. Dari belakang yang terlihat jajaran orang bergelantungan rapat
membentuk teralis menutupi bagian belakang mobil. Dan kalau belum
mendapat penumpang yang rapat seperti itu, colt memang belum mau
berangkat. Padahal itu sungguh membahayakan keselamatan penumpang.
Dia menarik napas untuk melonggarkan dadanya yang sesak. Dengan jilbabnya yang bersih ini, dia pun akan berimpit seperti mereka. Berdesak dengan orang, barang belanjaan, dan ayam. Sudah tercium olehnya
keringat bercampur kubis busuk, tai ayam, dan aroma parfum yang tajam
menusuk. Seperti itulah kalau perjalanan kita lekas sampai, karena
jumlah angkutan di sini sangat terbatas.
Colt jurusan Lemahabang yang ditumpangi hampir penuh. Beruntung dia
mendapat tempat duduk di depan, di ruang kemudi. Meski sesak juga, tapi
tak separah seperti duduk di belakang. Lumayanlah. Tapi harap diingat,
mendapat tempat duduk di ruang sopir, harus berani membayar lebih,
karena lebih nyaman, maka ruang sopir ini banyak diperebutkan.
Calo sudah memintai ongkos para penumpang. Berarti colt sudah penuh dan siap berangkat. Dia bernapas lega.
Pak
sopir masuk ruang kemudi, lalu menghidupkan mesin. Saat itu melintas
sebuah bayangan yang sudah sangat kukenal, di depan colt.dia masih mengingatnya dengan baik, itu adalah bayangan Silva, teman sekampungnya, teman masa kecil, teman sepermainannya dulu. Kalau ia mau pulang, kenapa tidak naik colt ini? Dorongan rasa kangen pada sahabat telah mengalahkan kepentingannya untuk cepat-cepat sampai di rumah.
"Sebentar, Pak Sopir," pintanya pada sopir yang sudah memasukan perseneling ke gigi satu. Lalu begitu saja dia turun dari mobil, mengejar Silva.
Terdengar teriakan sopir di belakang, "Cepat, Dik!"
Sekilas dia menoleh seraya melambaikan tangan menyuruhnya pergi. Sopir maklum, colt itu pun berangkat.
diapun berhasil mengejar Silva. Kujajari langkahnya.
"Mau kemana?" tanyanya.
Silva menoleh, tersenyum. Wajah dan bibirnya tampak pucat, tapi kakinya melangkah ke arah timur.
"Mestinya
kamu bersama saya naik colt yang tadi. Kamu sudah tahu kan, selepas
colt tadi belum tentu ada colt berikutnya yang bisa membawa kita pulang?
Sudah siang begini tak ada lagi orang berpergian. Anak sekolah dan
ibu-ibu yang belanja sudah pada pulang. Kita pertaruhkan pada nasib baik
untuk bisa pulang hari ini."
Silva tak berkomentar. Dia coba menggandeng tangannya. Dingin. "Kamu sakit? Mau periksa? Okelah, dia pun aku menemanimnya."
Melewati sebuah jembatan kecil, Silva belok ke kiri.
"Lho, kalau mau periksa ke tempat dr. Lestari, beloknya ke kanan, dong?!" protesnya. Silva tak menanggapi protesnya. Ia terus saja melangkah.
"Baiklah, ," katanya, menyerah. "Seandainya nanti tidak mendapat colt pulang, toh ada kamu. Kita bisa pulang jalan kaki bersama.
Kami
lewat di depan KUA. Ke utara sedikit, ada masjid di sisi barat jalan,
menghadap ke timur. Silva membelokkan langkahnya ke sana.
"Oh, kamu mengajakku salat dulu? Baiklah. Sekarang memang sudah hampir jam satu," katanya setelah melirik arloji di pergelangan tangannya.
Dia mendahului
Silva melepas sepatu, terus ke kamar kecil. Setelah itu mengambil wudhu
dan salat Zuhur lebih dahulu, karena Silva tak tampak bayangannya. Terpikir ia sedang berada di kamar kecil.
Kemana sih, dia? Diikuti kok malah menghilang? gerutunya sendirian, sambil mengenakan sepatu bersiap meninggalkan masjid.
Dia kembali
ke depan pasar mencari angkutan. Suatu kebetulan, ada serombongan orang
yang hendak berziarah ke makam Syeh Siti Jenar di Lemahabang. Mereka
mendapatkan colt dan dia mengikuti saja. Tampaknya rombongan itu membayar lebih, sehingga tak usah menunggu penumpang berdesak. Alhamdulillah.
Mobil yang mereka
tumpangi bergerak ke arah barat setengah kilo, lalu berbelok ke
selatan. Dan mulailah perjalanan yang penuh risiko. Karena colt mesti
melewati jalan berbatu tidak rata, dengan medan yang terus menanjak.
Badan colt bergerak seperti layaknya tubuh mentok. Merangkak tertatih,
megal-megol, oleng ke kiri dan ke kanan, kepalanya mengangguk-angguk.
Setelah lepas empat puluh lima menit, colt yang sudah bergerak pelan, terasa semakin memperlambat lajunya. mereka saling bertatapan. Ada apa? Serentak mereka arahkan pandangan ke depan. Ada sekerumunan orang memenuhi jalan di depan. Colt berhenti. mereka turun untuk mencari tahu.
Ternyata
ada colt jatuh ke jurang! Sebagian penumpangnya tewas, sebagian yang
lain luka-luka. Mereka sedang dievakuasi. Dan itu adalah colt yang
hendak dia tumpangi tadi, tapi tidak jadi!
Dia tertunduk lemas. Tak henti-hentinya menyebut kebesaran nama-Nya. Pandangannya
yang kabur oleh airmata, menangkap tubuh-tubuh yang berlumpur dan
berlumur darah terkulai. Pecahan kaca yang berserakan. Mobil yang
ringsek. Wajah-wajah yang basah oleh airmata. Telingaknya menangkap raungan tangis tak beraturan dari mereka yang masih bisa menagis. Allah Mahabesar.
"Dik, naik lagi. Kita teruskan perjalanan," kata sebuah suara.
Dia usap matanya dengan punggung tangan. Tanpa suara dia mengikuti laki-laki yang berkata tadi. Lalu mereka masuk kembali ke colt untuk meneruskan perjalanan.
Begitu sampai di rumah, setengah berlari dia menuju ke rumah Silva. Silva sendiri yang membukakan pintu. Serentak melihat bayangannya, langsung kmenubruk dan memeluk ia. Tangisnya pun tumpah di pundak Silva.
Silva balas memeluk.
"Tenanglah...," bisiknya lembut dekat telinganya. Dipapahnya tubuhnya menuju ke kamar. Setelah meminum air putih pemberian Silva, dia sedikit lebih tenang. Lalu dia menceritakan semua kepada silva. Tentang pertemuannya dengan silva di depan pasar. Tentang salatnya di masjid. Juga tentang colt yang tak jadi dia tumpangi dan ternyata mendapat kecelakaan...
"dia meminta menjawab pertanyaannya dengan jujur. Di mana saja kamu seharian ini?"
"Seharian
ini aku hanya di rumah, tidak pergi ke mana-mana. Sungguh! Kalau tak
percaya, tanya Ibu,"kata Silva, serius. "Sejak pagi sampai menjelang
Zuhur, aku di sawah bersama Ibu, matun padi. Pulang dari sawah aku
mampir ke pancuran, bersih-bersih sekalian ambil air wudhu. Setelah
salat dan makan, istirahat sambil membaca-baca. Lalu kamu datang," jalas
Silva runut.
"dia percaya. Lantas, siapa gadis mirip Silva yang dia temukan di depan pasar?"
Mereka saling berdiam diri, digayuti oleh pikiran masing-masing.
Dan dia percaya, Allah memang sengaja menyelamatkannya dengan cara-Nya sendiri. Terima kasih, ya Allah, atas pertolongan-Mu. Tak henti-hentinya dia menyebut nama-Nya.